0
Cerpen
Waktu Mengubah Segalanya
Oleh Annida Zakiya Fatin
PYAAARR...! Beberapa pecahan keramik putih
kini berserakan di lantai yang berwarna senada. Sebagian serpihan keramik masih
memantul menuju sudut ruangan. Piring yang tadinya bulat utuh kini telah hancur
berkeping-keping menjadi serpihan-serpihan tak berguna.
Aku melanjutkan mengangkat sendok
berisi nasi dan sepotong kecil telur goreng yang sudah setengah jalan menuju mulutku.
Aku tahu, suara kunyahan mulutku telah merusak keheningan di ruangan ini. Ah
biarlah, yang kuinginkan sekarang hanyalah menghabiskan sarapanku dan segera
pergi dari sini. Aku
heran, bagaimana mungkin wanita paruh baya itu hanya diam saja? Hm.. ya, aku
yakin ini hanya masalah waktu. Mereka hanya terjebak sejenak dalam emosi batin
masing-masing. Pasti tak lama lagi mereka akan tersadar dan segera memulai ritual
pagi.
”Kau ini...! Dasar laki-laki bodoh!”
ucap wanita yang duduk bersebelahan denganku.
Ia berdiri dari tempat duduknya kemudian memutar tubuhnya membelakangi meja makan klasik berwarna coklat keemasan dengan ukiran di setiap sudutnya. Kini wajahnya berpapasan dengan wajah seorang laki-laki yang masih berdiri mematung sejak tadi. “Lihat apa yang telah kaulakukan! Hanya memegang piring saja tak becus. Kalau seperti ini terus semua barang di rumah ini bisa hancur karenamu.”
”Hah... dasar kau ini! Ini kan hanya
masalah sepele. Aku bahkan bisa menggantinya dengan seribu piring yang lebih
bagus.” Akhirnya laki-laki berusia 51 tahun itu membuka mulut.
”Apa katamu? Masalah sepele? Kau tak
ingat sudah berapa banyak piring yang kaupecahkan?”
”Dasar cerewet! Aku akan menggantinya berapa
pun yang kauinginkan.”
”Kau yakin dengan ucapanmu itu, ha? Sadarlah!
Sekarang apa yang bisa kaubanggakan? Perusahaan bodohmu itu? Hah! Aku yakin tak
lama lagi perusahaan itu juga akan bangkrut. Perusahaan besar sekalipun pasti
akan hancur jika dipimpin oleh orang sepertimu.”
”Diam kau!”
Yap! Dugaanku tepat. Inilah rutinitas
keluargaku. Tiada hari tanpa bertengkar. Hal ini sudah menjadi konstitusi tak
tertulis dalam keluarga ini. Kadang aku heran, apa mereka tak bosan melakukan hal semacam itu? Pagi,
siang, malam, mereka selalu beradu mulut, saling mengolok satu sama lain,
saling melempar kata-kata busuk, dan akhirnya terjadi perang dingin diantara
keduanya sampai adanya masalah baru yang bisa diperributkan. Hhh... Dasar orang
tua.
Aku segera menghabiskan beberapa sendok
terakhir sarapanku. Kemudian aku beranjak dari tempat dudukku dan segera meraih
tas punggung hitam yang kuletakkan di kursi sebelah kiriku. Kulangkahkan kakiku
menuju pintu keluar. Langkahku terhenti. Pandanganku menangkap sosok anak
laki-laki dengan pakaian bercorak biru tua dan topi merah di kepalanya.
Wajahnya melukiskan sebuah keceriaan yang rasanya tak akan pernah pudar. Senyuman
manisnya selalu berhasil membuatku iri padanya. Aku tersenyum simpul melihat
gambaran diriku 5 tahun lalu yang masih terpampang rapi di bingkai foto itu.
”Adi...!”
Aku segera mengalihkan pandanganku dari
foto itu menuju sumber suara. Aku berbalik dan mendapati kedua orang tuaku telah
mengakhiri pertikaian tadi. Mereka masih berdiri di samping meja makan. Tatapan
keduanya mengarah padaku.
”Jangan pulang terlalu malam!” ucap ibuku
”Hn…” jawabku
acuh. Aku melanjutkan langkahku keluar dari rumah ini. Kususuri jalan yang
setiap pagi kulewati. Kaki ini sudah terbiasa berjalan sejauh 500 meter untuk
sampai ke SMA tercinta. Tapi bukannya aku fokus dengan jalanan yang kulalui, justru
ucapan ibuku yang masih terngiang-ngiang di kepalaku. Aku berceloteh dalam hati
sebagai ungkapan tak terima atas nasihat ibu tadi. Memangnya sejak kapan aku
pulang malam, padahal aku kan selalu pulang tepat waktu. Tentu saja mereka tak
tahu, mereka kan hanya bertengkar terus.
Hufh…
andai saja mereka bisa saling mencintai satu sama lain, setidaknya
sedetik saja. Sepertinya mereka tak pernah mengenal hal yang dinamakan
kebahagiaan. Yah, sama sepertiku. Ah, bukan! Aku bukannya tak mengenal
kebahagiaan, tapi kebahagiaanlah yang mengasingkan diri dariku. Setidaknya aku
pernah merasakan kebahagiaan, walaupun sudah sangat lama. Aku masih ingat benar
bagaimana rasanya. Kejadian 5 tahun lalu itu masih terekam jelas dalam
memoriku.
”Ayo, cepat!” ajak temanku
Kami berlari menuju pohon besar di
seberang jalan. Perjalanan pulang kami harus terhenti di bawah pohon ini. Kami
baru saja pulang sekolah. Dekatnya hari ujian nasional mengharuskan kami untuk
mengikuti pelajaran tambahan.
Hujan turun begitu deras sore ini.
Sesekali kilatan cahaya yang cepat menerangi gelapnya langit mendung. Disusul
dengan gelegar suara petir yang makin
membuat hatiku merinding. Kini suasana sekitarku semakin sunyi dan dingin.
”Ugh... Dingin...”
”Ini.” Kulepas jaketku. Aku sampirkan
jaket ke punggung gadis di sebelahku. Segera kubenarkan posisi jaket agar bisa
melindunginya dari dinginnya angin hujan.
Gadis itu tampak rapuh. Kulit putihnya
terlihat memucat. Gadis dengan kemeja
putih yang tertutupi sebagian oleh jaket hijau dengan beberapa garis vertikal
kuning di bagian lengannya itu mulai menggigil. Air hujan telah mengguyur
sebagian tubuhnya. Kakinya bagian lutut ke bawah masih dialiri beberapa tetes
air. Rok selutut berwarna merah yang ia kenakan telah basah di bagian bawahnya.
Sedari tadi, angin menyibakkan rambut hitamnya yang tergerai itu.
Andai aku bisa, aku akan melindunginya
dari tetes air dan hembusan angin yang menusuk ini. Meskipun aku harus
merelakan tubuhku ini untuk melindunginya. Apa pun akan kulakukan demi orang
yang ku...
DUAAR !
Kedinginan yang tadi melandaku kini
berubah menjadi sebuah kehangatan. Dadaku terasa begitu hangat kali ini.
Kurasakan sebuah rangkulan erat di pinggangku. Entah mengapa jantungku berdetak
tak menentu. Aku tak tahu apa yang kurasakan saat ini. Dia masih memeluk
tubuhku erat-erat. Mungkin suara petir tadi telah meraih sebuah titik ketakutan
dalam hatinya. Aku segera menepis pemikiran tadi. Kucoba mengembalikan akal
jernihku.
”Aku takut..,” ucapnya merintih penuh
ketakutan.
”Tak apa, petirnya sudah tak ada.” Aku
mencoba menenangkanya. Kupegang kedua lengannya. Kucoba menegakkan tubuhnya
perlahan. Pandanganku tak sengaja menatap bola matanya. Entah mengapa jantungku
berdetak semakin kencang. Aku merasa ada yang berbeda dengan dirinya, tapi aku
tak tahu apa itu. yang pasti dia memiliki mata yang begitu indah. Rasanya aku tak mau berhenti menatap
matanya itu.
”Jangan tinggalkan aku,” suaranya
menyadarkanku dari perasaan aneh yang entah apa namanya itu.
”Kamu ini bicara apa, to? Jelas
aku tidak akan meninggalkanmu.”
”Janji, tho?”
”Yanti, aku akan pasti ada jika kamu
membutuhkanku,” aku tersenyum kepadanya.
”Maturnuwun
ya, Di?”
Aku tersenyum sendiri mengingat kenangan
manis itu. Cinta monyet. Kurasa itulah namanya. Tapi, jika itu memang cinta
monyet, kenapa aku tak bisa melupakannya? Padahal aku sudah mencobanya
berkali-kali. Apa cinta monyetku itu telah bermetamorfosa menjadi cinta sejati?
Ah, bicara apa to aku ini. Setahuku cinta sejati itu perasaan antara dua
orang yang saling mencintai. Lha ini, tak ada kepastian. Bahkan kemungkinan
terbesarnya cintaku ini hanyalah cinta sepihak. Selama ini aku hanya bisa
mewujudkan cintaku dalam dunia khayal. Sebenarnya aku ingin sekali mengetahui
kepastian darinya, tapi, apa daya. Dia telah
pergi jauh dari hidupku.
Aku masih ingat betapa hancurnya diriku
waktu itu. Sehari setelah peristiwa tak terlupakan tadi, aku diberitahu temanku
bahwa Yanti dan keluarganya telah pindah ke Bandung untuk urusan bisnis
ayahnya. Seketika hatiku terasa hancur. Puing-puing semangat dalam diriku
runtuh begitu saja. Aku tersesat dalam kehampaan. Aku hidup dalam kegelapan.
Seolah matahari tak memancarkan cahayanya lagi. Entah mengapa hatiku tak pernah berhenti
berharap. Aku yakin mentari akan bersinar memberikan cahaya dalam hidupku lagi.
”Hey, Rani..! Tunggu aku,” suara gadis
dibelakangku membuyarkan lamunanku.
Aku mencoba mengumpulkan kesadaranku
menuju dunia nyata ini. Kini aku berdiri di depan gerbang sekolahku. Kulihat
beberapa anak sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Aku segera menuju
kelasku. Kulalui hari ini seperti biasanya. Mengikuti pelajaran, mengerjakan
tugas, berdiam diri di kelas ketika jam istirahat, dan mencoba sebisa mungkin
untuk mengasingkan diri dari teman-temanku.
Sepulang sekolah, aku bergegas pulang.
Sekitar 5 menit dari sekolah, aku sampai di depan rumah tingkat bercorak khas
Jawa dengan warna kuning mendominasi di bagian depanya. Aku ingin segera masuk
ke dalam rumah itu dan menghempaskan tubuh ini di tempat tidurku. Aku terus
melangkah, sebelum kusadari seorang gadis berdiri di depan pintu rumah.
Gadis dengan tinggi semampai itu
memegang secarik kertas dan berkali-kali mengamati kertas itu. Beberapa saat ia
juga mengamati rumahku. Dandananya membuatnya tampak asing dimataku. Ia memakai
sepatu merah berukuran besar dengan palet putih di bagian bawah. Celana jeans
selutut berwarna hitam yang ia kenakan semakin memperjelas kulit putihnya. Di
atasnya, ia memakai kemeja hitam dengan bordir bergambar tengkorak di bagian
punggungnya. Kemeja itu ia biarkan terbuka di bagian depan, memperlihatkan kaos
merah yang berpadu dengan warna sepatunya. Terlihat jam tangan hitam melingkari
pergelangan tangan kirinya. Rambut hitam ketal yang ia kuncir penuh membuatnya
terlihat sempurna sebagai gadis tomboi.
Siapa dia? Apa yang dia lakukan di
sini? Muncul beberapa pertanyaan dalam benakku. Aku memutuskan untuk
mendekatinya. Kulangkahkan kaki ini mendekat padanya. Langkahku terhenti.
Jantungku terasa berhenti berdetak ketika kudapati gambaran wajahnya. Wajah itu
terlihat famliar bagiku. Mungkinkah dia...? ah, kurasa tak mungkin. Ia bukan
anak tomboi seperti itu. Bagaimana mungkin wajah gadis itu sangat mirip denganya?
”Adi...!” Gadis itu menghampiriku dan
seketika memeluk erat tubuhku.
Aku merasakan dekapanya yang begitu
hangat. Jantungku terasa berdetak semakin cepat, tapi setiap tetes darah dalam nadiku
terasa membeku seketika itu. Tubuhku melemas. Aku tak berdaya dalam dekapannya. Otakku terasa
tak bisa berfikir lagi. Aku tak percaya dengan semua ini. Apa ini nyata? Atau
hanya sebatas khayalanku saja? ”Yanti?”
”Aku sangat merindukanmu.”
”Apa ini benar-benar kau?” Aku masih
tak percaya dengan apa yang ada di depanku ini.
”Ya, ini aku.” Dia melepaskan
dekapannya. Seulas senyuman menghiasi bibir indahnya.
Kubalas senyum
manis itu. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Lidahku seolah membeku begitu
saja. Aku masih tak menyangka semua ini terjadi. Dia tak hanya berada dalam
samudra imajinasiku. Kini dia bersamaku, di sini, tepat di depanku.
”Hey, apa kau tak merindukanku?”
”Eh? Ee... Tentu saja aku
merindukanmu.” Bahkan aku sangat merindukanmu, tambahku dalam hati. ”Sejak kapan kau pulang ke sini?”
”Sejak kemarin. Aku dan keluargaku
akan tinggal di sini lagi. Yah, kau tahu kan betapa sibuknya ayahku itu?”
”Tentu saja. Apa kau akan
tinggal lama di sini?”
”Kurasa begitu. Kata ayahku, dia akan
membangun perusahaan yang lebih besar di sini. Jadi, tidak menutup kemungkinan
jika kami selamanya akan menetap disini.”
”Baguslah,” seulas senyuman
mengembang di wajahku. ”Ngomong-ngomong, kau berubah drastis ya? Seingatku,
dulu kau itu feminim, lemah lembut, dan sekarang, lihatlah! Wow, kau tampak
sangat tomboi, hahaha...” ucapku setengah bergurau.
”hahaha... Ya, menurutku aku lebih
cocok menjadi diriku yang seperti ini. Toh, bukannya lebih keren yang seperti
ini, ya? Dari pada diriku yang dulu, gadis kecil penakut yang cengeng. Kenapa
dulu aku bisa seperti itu, sih? Huh memalukan!”
”Menurutku
tidak seburuk itu. Dulu kau gadis yang manis, kau juga cantik.”
”Jadi,
menurutmu sekarang aku tidak cantik?”
”Tentu saja
sekarang masih tetap cantik. Hahaha...”
”Haha, kau bisa
saja. Ternyata kau masih sama seperti dulu, tapi, kenapa
Sita berkata bahwa kau sudah berubah? Katanya kau sekarang jadi pemurung dan
pendiam. Justru sebaliknya yang kulihat.”
”Sita?”
”Iya, Sita
teman SD kita. Aku bermain ke rumahnya kemarin.”
”Oh, dia. Ya
mungkin karena dia tak dekat denganku. Jadi dia tak tahu yang sebenarnya.”
Tentu saja aku tak sama seperti yang Sita sebutkan. Semua itu karena kau telah
kembali. Kini kau ada di sampingku, memberikan sebuah kebahagiaan dalam hatiku
ini, gumamku dalam hati. ”Kau masih ingat dia, to?”
”Jelas lah, aku
tak akan pernah melupakan semua temanku di kota Magelang ini. Terutama kau.
Haha.”
”Kau bisa saja.
Yanti, ayo masuk ke rumahku!”
”Baiklah. Oh
ya, Di. Bisakah kau memanggilku dengan sebutan Novi saja?”
”Novi?
Memangnya apa to yang salah dengan nama Yanti?”
”Yahh... Kau
tahu, nama itu terlalu ndeso. Jadi, maukah kau memanggiku dengan nama
depanku saja?”
” Baiklah. Ayo
kita masuk, Yan! Eh, masudku, Nov.” Entah mengapa hatiku merasa janggal dengan
semua ini.
Kami masuk ke
dalam rumah. Di balik pintu depan rumahku itu, ayah dan ibuku sedang beradu
mulut yang tidak lain hanya mempeributkan masalah sepele. Sungguh memalukan!
”Siang, Om,
Tante!” Dia tersenyum kepada kedua orang tuaku. Suaranya menghentikan keributan
di ruang tamu itu.
”Eh, siang, Dek!
Temanya Adi ya?” tanya ibuku.
”Tante, ini
saya, Yanti.”
”Oalah, teman kecilnya Adi yang dulu
sering main ke sini itu, to?”
”Iya, Tante.
Tante sedang ada masalah dengan Om, ya?”
”Hah, biasalah,
Nak Yanti. Ayahnya Adi itu memang pembuat masalah!”
”Apa kau bilang?
Pembuat masalah?” Ayahku tiba-tiba menyela dengan nada tinggi.
”Memang benar,
kan?” balas ibuku.
”Sudahlah, Om,
Tante. Tak ada gunanya bertengkar. Lagipula, kasihan Adi jika ia harus hidup
dalam keributan seperti ini. Itu bisa merusak mentalnya.”
”Ayo ke halaman
belakang saja!” Kutarik lengan kiri Yanti agar kami bisa segera menjauh dari
keributan berikutnya yang akan terjadi. Argumenku salah.
Aku tak mendengar sedikit pun kegaduhan yang ditimbulkan kedua orang tuaku.
Mereka terdiam. Entah sampai kapan keheningan itu akan berlangsung. Aku dan
Yanti segera meninggalkan ruang tamu itu menuju halaman belakang.
Sejak hari itu,
hidupku berubah. Semua kepedihan yang selalu menyelimutiku beralih menjadi
sebuah kebahagiaan. Kebahagiaan yang dulu kunanti, kini telah mengalir dalam
darahku, selelu menyertaiku di setiap hembusan nafasku. Sang mentari telah
kembali, memberikan berkas-berkas cahaya kebahagiaan dalam hidupku. Ia
pancarkan cahayanya, menerangi sebuah senyuman untuk menemukan jalan menuju
padaku.
Sudah dua
minggu ini kulalui hari-hariku bersamanya. Sungguh hari-hari yang penuh
kebahagiaan, tapi, kebahagiaan itu tetap tak bisa memungkiri kejanggalan yang
kurasakan. Dia sudah berubah! Dari hari ke hari, semakin terlihat jelas semua
perubahan itu. Ia berbeda dengan orang yang kucintai 5 tahun lalu. Aku tak tahu
tentang perasaanku padanya saat ini. Yang kutahu
pasti, dia telah menghapuskan peperangan dalam keluargaku. Dia sering berbincang-bincang
dengan kedua orang tuaku ketika ia bermain ke rumahku. Entah kata apa yang
sering ia lantunkan sehingga mereka kini menempuh jalan persatuan.
Sore ini Yanti
bermain ke rumahku. Kami memainkan
beeberapa game dari playstation milikku.
”Yeey... Aku
menang!” ucapnya penuh kepuasan.
”Haahh...
Baiklah, kau menang.”
”Haha, akui
saja. Aku bermain lebih baik darimu, kan?”
”Ah, mana
mungkin. Itu karena kau sedang beruntung saja.”
”Walaupun aku
sedang tak beruntung, aku pasti bisa ddengan mudah mengalahkamu.”
”Iyo, po?”
”Tentu saja.”
”Tak mungkin,”
ledekku sambil tersenyum padanya.
”Ngomong-ngomong, apa kau punya pacar,
Di? Kau tak pernah cerita hal itu kepadaku.”
”Eh? Pacar ya?
Aku tak punya. Memangnya kenapa?”
”Ya, tak apa
sih. Berarti kita sama-sama jomblo.”
”Benarkah? Apa
kau tak punya pacar?”
”Iya, aku tak
punya pacar. Emm.. Di, kau ingat tidak kejadian lima tahun lalu? Ketika kita
pulang les.”
”Tentu saja,
aku masih ingat benar bagaimana kejadiannya. Rupanya kau juga masih ingat, to?”
”Mana mungkin
aku melupakannya. Itu sebuah kenangan manis yang tak terlupakan di hidupku.”
muncul seulas senyuman di wajahnya.
Apa maksud perkataanya
itu? Apa dia...?
”Bukanya kau
pernah berjanji kau akan ada jika aku membutuhkanmu?” Ia menatapku dalam-dalam.
”Ya.”
”Adi...
Sekarang aku membutuhkanmu. Aku membutuhkan seseorang untuk mengisi hati ini.
Apa kau akan ada untukku? Apa kau akan membantuku mengisi kehampaan hatiku
ini?” Tatapanya terlihat semakin dalam.
Hening.
Aku tak tahu
apa yang harus kukatakan. Tatapan matanya seolah membekukan pikiranku. Aku
diselimuti antara perasaan bahagia dan kebingungan. Semua itu bercampur menjadi
satu dalam benakku.
”Aku akan
pulang.” Dia mengalihkan pandanganya dari mataku. Ia berdiri. Berjalan menuju
pintu keluar. Beberapa langkah kemudian, Ia berhenti. ”Tolong jawab
pertanyaanku. Kutunggu besok jam sepuluh di alun-alun kota. Aku tak memaksamu
untuk datang.” Ia melanjutkan langkahnya. Sosoknya menghilang di balik pintu
kayu yang cukup tebal itu.
Aku tak bisa
mengalihkan pikiranku ke hal lain. Semua perkataan Yanti tadi masih tertata
rapi dalam ingatanku. Aku berulang kali mengingat kejadian itu, tapi aku tak
juga menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan tadi.
Udara Malam ini
terasa begitu menusuk tulang rusukku. Suasana begitu sunyi, begitu senyap. Jam
dinding di kamarku sudah menunjukkan pukul dua dini hari.
Sekeras apa pun
aku berusaha, mataku tak mau terpejam. Mataku seolah tak mengizinkanku untuk
meninggalkan masalah yang belum terselesaikan ini. Akhirnya kuputuskan untuk
memikirkannya sekali lagi. Mataku beralih memandangi langit-langit kamarku.
Yanti. Apakah
aku maih mencintainya? Perubahannya telah memunculkan sebuah akan perasaanku
kepadanya. Dia bukan Yanti yang kukenal 5 tahun yang lalu. Ia berbeda dengan
orang yang selalu mengisi hatiku. Ia berbeda dengan orang yang selalu memenuhi setiap
sudut memoriku. Tapi, ia tetaplah orang yang telah kunanti selama 5 tahun
terakhir ini. Ia juga orang yang telah memberi sebuah kedamaian di keluargaku.
Betapa bodohnya
aku ini. Mengapa tak pernah terpikir olehku bahwa dia akan berubah drastis
seperti ini? Logikaku telah terbutakan oleh cintaku. Memang 5 tahun itu waktu
yang sangat lama, jadi, wajar saja jika dia mengalami semua perubahan ini.
Tapi, apa aku bisa mencintainya dengan menerima semua perubahan itu? Atau aku
hanya mencintai Yanti yang kukenal 5 tahun lalu? Jika aku menerimanya, apa
kelak aku bisa menerima perbedaan ini? Jika aku meolaknya, maka apa arti
penantianku selama ini?
Ya! Aku akan
mengambil keputusan ini. Aku harus berani melakukanya. Inilah keputusan terbaik untuk kami berdua. Aku
menghela nafas panjang. Aku segera bersiap untuk tidur. Akan kusimpan tenagaku
ini agar besok aku bisa memberi tahu keputusanku ini dengan sebaik-baiknya. Segera
ku benahi posisiku. Kupejamkan mataku.
Esok harinya,
mentari bersinar cerah menerangi langit biru. Gumpalan-gumpalan awan putih
tampak menari di atas sana. Kicauan-kicauan burung menciptakan nada-nada indah
di alun-alun Magelang ini.
Kupertajam
penglihatanku. Mataku mulai menelusuri setiap sudut alun-alun. Aku melihat
Yanti di sana, duduk di bawah pohon besar pada bagian barat alun-alun. Aku
segera menghampirinya. ”Novi!”
”Eh, kau sudah
datang?”
”Apa kau sudah
lama menunggu?” Aku duduk di sampingnya.
”Baru sebentar
kok.”
”Baguslah, kau
ke sini sendiri, ya?”
Sudahlah, Di.
Tak perlu basa-basi lagi. Dengar, kau pasti sudah tahu ini. Aku mencintaimu.
Aku mencintaimu sejak SD. Bagaimana denganmu? Apa kau mempunyai perasaan yang
sama denganku?”
”Aku...aku juga
mencintaimu sejak kita masih SD, tapi...”
”Benarkah itu?
Jadi, maukah kau menjadi kekasihku?” ucapnya memotong pembicaraanku.
”Nov, dengar.
Aku memang mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Tapi, aku sadar. Selama ini aku
hanya mencintai Yanti yang kukenal 5 tahun lalu. Aku hanya mencintai Yanti,
gadis kecil penakut yang cengeng. Memang, awalnya aku sangat bahagia ketika kau
datang ke kota ini. Tapi, semakin lama hatiku semakin merasakan keganjalan akan
perasaanku kepadamu.”
”Aku akan
berubah. Aku janji.”
”Ssstt! Aku tak
mau kau berubah karenaku. Jadilah dirimu sendiri, Nov.”
”Tapi, Di...”
”Terimakasih,
karnamu, aku bisa belajar untuk selalu berpikir panjang. Terimakasih, karena
kau telah memberikan sebuah kebahagiaan dalam keluargaku.” Aku tersenyum.
”Baiklah, aku
mengerti. Aku akan berusaha melupakanmu.”
”Aku bangga
mempunyai teman sepertimu.”
”Teman.”
”Ya, teman.” Aku
tersenyum padanya.
Dia membalas
dengan seulas senyum manisnya.
Ya, teman. Mungkin
hanya sebatas itulah hubungan yang bisa kujalani dengan Yanti. Aku tak bisa
memaksakan hatiku untuk mencintainya. Waktu telah mengubahnya. Waktu telah mengubah
perasaanku padanya. Begitupula waktu telah mengubah perpecahan dalam keluargaku
menjadi sebuah persatuan. Waktu pun telah mengubah dunia kelamku menjadi penuh
warna. Waktu mengubah segalanya.
Posting Komentar